Action, Romance, Science-fiction

Comeback Home – Episode 01

Title: CONNECTION II: Comeback Home

Author: @fanneeywp

Genre: Action, Romance, Suspense, lilbit’ Sci-fi

Rating: PG+17

Length: Series

Language: Indonesian

Casts: Xi Luhan [EXO-M], Lee Gikwang [BEAST], Choi Sooyoung [SNSD]

Inspiration: “Comeback Home” song by 2NE1.

A/N: tiba-tiba saya dapat ilham setelah sekian lama, dan entah kenapa ilham storylinenya tertuju ke fanfic ini, huahaha. Cerita sebelumnya cek aja fanfic buatan saya yang judulnya CONNECTION [1-3 END], tapi kalo baca langsung dari sini juga kayaknya gak bakal ngaruh banyak *ngek* ya sudahlah silahkan dinikmati *kecup terbang*

WARNING INSIDE! 0___0

*

Episode 01 – Kita Bertemu Lagi

 

EXO_12월의 기적 (Miracles in December)_Music Video (Korean ver.).mp4_snapshot_02.51_[2014.06.19_11.48.48]

 

Malam ini dingin. Lelaki berdarah Chinese itu merasakan betapa angin berhembus menusuk-nusuk permukaan kulitnya, rasa dinginnya terasa sampai sendi, mengoyak kulitnya hingga ke tulang. Luhan berjalan dengan tatapan kosong, melintasi air mancur kota dengan lampu-lampu taman yang berpendar indah. Tanpa peduli helaian rambut peraknya basah tersiram pancuran air, tanpa peduli orang yang berlalu-lalang di sekitarnya, Luhan terus berjalan. Terlihat linglung, ia bahkan beberapa kali menubruk pundak orang ketika lewat.

 

Bola matanya hitam pekat. Tak ada hal lain yang dipikirkannya kini kecuali Choi Sooyoung. Ia harus bertemu Choi Sooyoung, ia harus menemukan gadis itu bagaimana pun caranya, dimana pun ia berada. Di kepalanya hanya ada Sooyoung, Sooyoung, dan hanya Sooyoung. Ironis, Luhan menangis sepanjang malam, menyesali kalau ia baru saja kehilangan gadis yang tanpa sadar dicintainya sejak lama.

 

Sooyoung-ah

 

TIIIN! TIIIN!

 

Luhan berjalan lurus melintasi jalanan, nyaris membuat sebuah mobil sedan menabraknya. Si pemilik mobil langsung berhenti dan keluar dari mobilnya, membentak Luhan dan mengatainya gila karena cari mati ketika menyebrang jalan. Luhan menghiraukannya, ia seakan menulikan pendengaran dan berlalu begitu saja.

 

“Orang gila!” umpat si pemilik mobil lagi, sebelum memasuki mobilnya dan melaju pergi. Luhan tak peduli.

 

Tangan kirinya mati rasa, dibalut perban, Luhan memeganginya sepanjang jalan ia melangkah. Kris bilang itu hanya efek samping dari kecelakaan yang dialaminya dan tak lama lagi tangan kirinya pasti dapat digerakkan lagi. Nun Luhan tak percaya, tangan kirinya benar-benar mati, sudah mati, seperti hatinya. Ia tak yakin semuanya akan kembali seperti semula. Piring yang pecah tak dapat direkatkan lagi, sekalipun dapat, bekas retakannya tak akan hilang. Begitu juga dengan tubuhnya yang terasa makin kaku dan dingin, hanya berbalutkan piyama biru pemberian Xiumin. Rasanya seperti membeku. Wajah tampan Luhan tampak pucat, ia merasa berputar-putar karenanya.

 

Dan, sebelum dirinya benar-benar kehilangan kesadaran, samar-samar Luhan mendengar suara Lay yang menyerukan namanya, “Luhan-gege!”

 

*

 

EXO 엑소_Music Video_Drama Episode 2 (Korean Version).flv_snapshot_01.03_[2014.06.19_11.52.52]

 

“Luhan-ge sudah bangun!”

 

“Luhan? Luhan! Kau bisa mendengarku?”

 

Ge kau tidak apa-apa? Aku cemas sekali… hiks.”

 

Hyung kau membuatku jantungan! Jangan tiba-tiba menghilang begitu saja! Bagaimana kalau Lay tidak menemukanmu tadi?”

 

EXO 엑소_Music Video_Drama Episode 2 (Korean Version).flv_snapshot_01.04_[2014.06.19_11.53.19]

 

Sedetik setelah ia membuka matanya, sudah ada empat wajah familiar di depannya, Lay, Tao, Chen, dan Xiumin. Dengan tiba-tiba Kris muncul dan mengatakan sesuatu mengenai jangan mengerubungi Luhan dan cepat panggilkan Dokter. Chen langsung berlari keluar ruangan untuk menghubungi Dokter keluarga Xi.

 

Ge jangan pergi tiba-tiba lagi yah…” airmata Tao meleleh. Luhan menatap anak laki-laki bermata panda itu lekat, namun ia tak mengucap apapun. Tao menggenggam tangannya erat sekali, dan hangat.

 

Lay membantu Luhan untuk duduk menyandar dengan meninggikan bantalnya. Xiumin memberi Luhan segelas air putih dan langsung ditenggaknya sekali habis. Luhan masih belum bicara apa-apa, Lay dan Xiumin hanya saling pandang pasrah. Tatapan Luhan masih sama semenjak dua bulan yang lalu, datar dan kosong. Mereka tahu, Luhan tidak pernah seperti ini sebelumnya. Ia biasanya lebih berekspresi walau sekedar ekspresi marah atau kesal. Tapi kali ini… tidak ada sama sekali. Selain matanya yang kadang tiba-tiba mengeluarkan cairan bening, mimik wajah Luhan tetap tak berubah.

 

Dokter Heo Gayoon datang tak lama setelah Chen meneleponnya. Ia adalah Dokter muda dari keluarga Heo, sudah berhubungan baik dengan keluarga Luhan sejak lama, sebelum Ibu dan Ayah Luhan meninggal. Umur Heo Gayoon dan Xi Luhan pun sebenarnya tak berbeda, mereka lahir di line yang sama. Bisa dibilang, teman—ah, tidak—sudah kenal sejak kecil, tetapi tidak sampai tahap berteman.

 

Dokter Heo lantas memeriksa tanda vital Luhan secara berurutan. “Nadi, suhu, dan nafasnya normal. Selain tangannya yang masih belum bisa digerakkan, secara fisik Tuan Xi Luhan baik-baik saja. Tetapi psikisnya masih agak terguncang.”

 

“Jadi apa yang harus kita lakukan?” tanya Xiumin cepat.

 

“Yang kita bisa hanya menunggu hingga kondisi ini pulih dengan sendirinya, tapi sebaiknya tidak ada yang menyinggung soal kecelakaan itu kepadanya. Ingatannya akan sulit menerima itu dan akan menyebabkan mentalnya ambruk lagi.” Tutur Dokter Heo.

 

Kecelakaan itu, dua bulan yang lalu…

 

Lay sudah memeluk Tao yang menangis di pundaknya. Chen termenung memperhatikan Luhan, ia juga nyaris menangis. Kris tidak berkata apa-apa karena hanya akan memperburuk suasana. Xiumin pun sama, ia hanya mengangguk salam ketika Dokter Heo berlalu sebelum memberitahukan terapi-terapi kecil yang mesti dilakukan Luhan.

 

Sementara laki-laki yang dibicarakan, Xi Luhan, memandang nanar keluar jendela kamarnya, membisukan bibir dan menulikan kuping.

 

*

 

“Kau sayang padaku kan, Sooyoung-ah?”

 

“Aku selalu menyayangimu.”

 

“Keluar, Sooyoung! Aku bilang keluar!”

 

“Sudah kubilang aku menyayangimu. Maafkan aku…”

 

MBLAQ -Y.wmv_snapshot_00.54_[2013.06.02_10.16.07]

 

DEGGG!

 

Luhan terbelalak kaget ketika mimpi itu datang lagi. Ia terbangun dan menyadari kalau bantalnya sudah basah karena keringat dan airmatanya sendiri. Luhan menggulung tubuhnya dengan selimut dan menangis lagi. Tak peduli seberapa basah bantalnya atau seberapa panas tubuhnya. Tak pernah ada yang tahu ia selalu terbangun tengah malam karena mimpi ini, dan setelahnya ia akan terjaga hingga pagi menjelang.

 

Menyebut-nyebut nama Sooyoung, meminta maaf berulang-ulang, dan terus mengatakan kalimat dengan nada lirih, “Aku juga. Aku juga menyayangimu… Sooyoung-ah. Selalu. Sejak dulu. Jadi berhenti menghantuiku… kumohon.”

 

*

 

Saeng-il chukkae hamnida, Lee Gikwang!”

 

Potongan-potongan kertas warna menghujani kepala dan wajah Gikwang begitu ia memasuki apartemen sederhananya di Ilsan. Yoseob meniup terompet keras-keras nyaris membuat kuping Gikwang tuli mendadak.

 

Ia merenggut kesal. “Kalian ini apa-apaan?!”

 

“Kau sengaja dibikinin pesta kejutan bukannya senang malah marah-marah. Ck!” Doojoon merangkul pundak Gikwang lalu tersenyum jenaka. Sang Leader Yoon dengan sengaja menarik dua ujung bibir Gikwang dengan sebuah cubitan. “Senyum dong… nah gitu kan enak dilihat.”

 

“Enak dilihat darimananya? Kalian mengacaukan isi rumahku!” Gikwang mencak-mencak, melepas jaket kulit cokelatnya dan melemparnya ke wajah Doojoon. “Yong Junhyung jangan simpan sepatumu di atas meja begini, duh! Bau pula!” Gikwang menjiwir sepatu Junhyung seraya menutup hidungnya dengan satu tangan, lantas melemparnya secara asal ke rak sepatu.

 

“Heh Cebol, itu bukan sepatuku, itu sepatu Hyunseung!” Junhyung tidak terima dirinya dijadikan kambing hitam. “Dan kalaupun itu sepatuku, kau tidak perlu sok-sokan menutup hidungmu! Di antara kita berenam memangnya siapa yang sepatunya paling wangi, hah? Tentu saja sepatuku!” jika disinggung soal kebersihan, Junhyung memang yang paling sensitif dan nomer satu. Duh, dasar Gikwang ceroboh, harusnya ia tahu itu dari awal.

 

“Oi! Itu sepatuku yang paling berharga! Jangan dilempar seenaknya kenapa sih?!” Hyunseung yang baru muncul dari arah dapur langsung sewot melihat Gikwang memperlakukan sepatunya semena-mena. Hyunseung memakai celemek pink dan membawa pisau, ditambah wajahnya yang penuh bercak darah. Doojoon histeris melihat itu dan sempat memekik, “Kau habis bunuh anak siapa?!”

 

Padahal faktanya Hyunseung baru memotong-motong daging ikan untuk makan malam mereka berenam nanti. Dari mereka semua, memang Hyunseung lah yang paling bisa diandalkan dalam soal memasak (walau dapur akan seperti terkena angin topan setelah digunakan Hyunseung). Tapi itu lebih baik daripada membiarkan Yoseob menggunakan peralatan dapur.

 

“Soalnya itu sepatu baru dari Hyuna, ngomong-ngomong,” Dongwoon yang sudah menyuap sepotong kue bersama Yoseob—tanpa di sadari siapa-siapa—memberitahu tanpa diminta. Kim Hyuna, sekedar pemberitahuan, adalah model cantik yang baru-baru ini naik daun, pacar baru Jang Hyunseung.

 

“Oh, ini dari pacarmu itu? Nih makan nih sepatu!” Gikwang dengan sengaja menginjak-injak sepatu kulit Hyunseung penuh emosi. “Hyuna kan model, dia pasti kaya dan bisa belikan kau sepatu berapapun kau mau, ya kan?”

 

Muncul empat tanda siku di bawah mata Hyunseung. “OI BANGSAAAT!” Gikwang melotot ketika secepat kilat Hyunseung berlari ke arahnya dan mencekik leher Gikwang dengan keteknya (yang untungnya Hyunseung menyimpan dulu pisau dapurnya sebelum berlari dan mencekik Gikwang).

 

“Okkk—gah! Am—ampun Hyung, ampun!” Gikwang memukul-mukul tangan Hyunseung tapi laki-laki bersurai putih itu makin beringas menyiksanya. Satu fakta didapat dari Hyunseung, jangan pernah mengganggunya dan pacarnya. Sebab Hyunseung adalah tipe orang yang tidak mudah terpancing emosi, tetapi segalanya berubah jika menyangkut orang terkasihnya.

 

“Biarkan saja Kwangie, Hyunseungie juga begitu kepada kami semenjak ada nama Kim Hyuna di kepalanya,” cibir Yoseob sekenanya, lalu ia dan Dongwoon melakukan adegan suap-suapan cheesecake lagi.

 

Hyunseung mendelik tajam, “Diam kau Chibi.”

 

“Komentarmu menambah buruk suasana, Hyung,” Dongwoon, setelah menerima suapan kue dari Yoseob, refleks mengusapkan ibu jarinya di sudut bibir Yoseob yang beleputan krim kue. Yoseob terpana. Dongwoon mengerjap polos. Makin romantislah mereka berdua.

 

“Dongwoonie kau tahu? Orangtuaku saja bahkan tak pernah mengusap bibirku seperti itu,” dia bilang.

 

“Kapan Hyung bertemu dengan orangtua Hyung memangnya?”

 

“Eh iya ya. Aku kan tinggal di panti asuhan dari kecil,” dan sebuah gulungan majalah menimpuk kepala Yoseob. “Hya! Ittai desu, Dongwoonie!” Dongwoon pasang muka inosen.

 

“Doojoon, kau adalah Leader. Tolong suruh mereka semua diam, aku mau tidur,” Junhyung menguap malas. Menyelonjorkan kedua kakinya di atas meja dan melipat kedua tangan di depan dada, posisi paling nyaman dan paling ‘raja’ untuk tidur di sofa. Ia sudah menutup kelopak mata tapi suara ribut masih terdengar, “Yah Yoon Doo—”

 

“Woy kuenya bagi-bagi dong!” Leader yang berkharisma itu ternyata sudah ngiler dan mengabaikan ucapan Junhyung barusan.

 

Junhyung headbang. “Ingatkan aku untuk membunuhmu ketika aku bangun nanti, Yoon Doojoon.” Desisnya sebelum benar-benar memejamkan mata dan tertidur.

 

Mata Gikwang yang sipit ternyata bisa membola melihat keadaan ini. Sekarang Junhyung sudah tidur menguasai sofanya, trio Dongwoon-Yoseob-Doojoon lagi enak-enak menikmati cheesecake—yang seharusnya untuk—ulang tahunnya, dan Hyunseung masih mencekik lehernya. “Bu-bukannya ini acara ulangtahunku?!”

 

“Ya iyalah, Ba~ka.” Ucap Yoseob dengan mulut penuh kue.

 

“Ya terus kenapa kalian yang makan kuenya!”

 

“Orang kita juga yang beli, ya kita yang makan lah, kau gimana sih.” Dongwoon pasang muka tak berdosa andalannya.

 

“Kau yang gimana, Maknae kurang ajar! Aku lebih tua satu tahun dua bulan enam hari darimu jadi panggil aku ‘Hyung’!”

 

“Jangan membentak Adikmu seperti itu, Gikwang.” Doojoon tiba-tiba menasehati dengan mimik muka manusia paling suci sedunia. Ia segera menepuk-nepuk punggung Dongwoon yang—entah bagaimana—sudah mengeluarkan airmata buaya.

 

“Dan jangan menasehatiku dengan wajah serius sementara kau masih menguyah kuenya Yoon Doojoon!” Gikwang menjeda sedetik dan melanjutkan, “Dan Dongwoon airmata buayamu tidak mempan padaku kau tahu!”

 

“Jangan teriak-teriak terus, nanti pita suaramu rusak. Istigfar, Gikwang.” Hyunseung yang sudah melepaskan cekikannya pada Gikwang sejak tadi, tahu-tahu buka mulut yang justru membuat wajah Gikwang makin merah padam menahan amarah.

 

“Kau baru saja membuatku nyaris mati dengan sebuah cekikan! Kau yang istigfar! Astaga!” Gikwang terengah seperti sehabis berlari marathon 10 kilometer. Ia jadi capek sendiri, capek batin lebih tepatnya. Dosa apa ia di masa lalu sampai punya orang-orang semacam ini di kehidupannya yang sekarang? Gikwang frustasi memikirkannya. “AAARGH! MICHIGETTA!!!”

 

“BERHENTI BERTERIAK ATAU NASIBMU AKAN SAMA SEPERTI ALEX, LEE GIKWANG!” bentakan menggelegar Junhyung mengangetkan semua yang ada di sana.

 

Hening kompak.

 

Semua menciut di mata Junhyung sekarang, apalagi Gikwang yang syok dengan kalimat Junhyung barusan. Atau nasibmu akan sama seperti Alex, kalimat Junhyung terngiang-ngiang.

 

Mata Yoseob mendadak berkaca-kaca, sebab Alex yang dimaksud Junhyung adalah ayam jantan peliharaannya yang ‘dihabisi’ Junhyung dengan beringas minggu lalu, karena Alex mengira kupluk Junhyung sebagai toilet dan buang hajat di situ. Alhasil Junhyung marah besar begitu mendapati kupluk kesayangannya ‘dikotori’ seekor ayam. Junhyung langsung gelap mata dan membunuh Alex ketika itu juga, tak lupa menggorengnya dan memakan dagingnya hingga tak bersisa. Parahnya lagi, Yoseob tidak mendapat sedikitpun jatah daging ayamnya dan itulah yang membuat Yoseob sangat sakit hati. Semenjak saat itu, Junhyung mendapat julukan kilat, yaitu Sang Joker Pembunuh Berdarah Ayam.

 

“Aleeex! Hueee!” Yoseob menangis tersedu-sedu mengingat Alex-nya tersayang.

 

“Tidaaak! Mana mau aku bernasib sama seperti Alex!” Gikwang membatin ketakutan. “Dan jangan samakan aku dengan ayam!” tambahnya.

 

*

 

Walaupun kekacauan di apartemen Gikwang tak berhenti sampai di situ, namun pesta perayaan ulangtahun kecil-kecilan berjalan tak sekacau sebelumnya. Ditutup dengan acara makan malam dengan ikan bumbu balado buatan Hyunseung, Gikwang merasa cukup bahagia bisa berkumpul dengan rekan-rekannya. Sayang Papa Hong—Hong Seungsung—tidak bisa berkumpul bersama mereka karena ada pertemuan penting dengan klien. Tapi tak apalah, semua ini sudah cukup bagi Gikwang.

 

“Oh iya hampir lupa, Dongwoon tolong ambilkan bungkusannya!” perintah Doojoon tiba-tiba. Ketika itu Hyunseung tengah mencuci piring dengan Junhyung di dapur, Yoseob dan Gikwang tengah bermain game di ruang depan.

 

“Oke Hyung,” Dongwoon melesat dan kembali lagi lima detik kemudian dengan sebuah bungkusan kecil berwarna hijau lumut.

 

Gikwang dan Yoseob langsung menghentikan sejenak permainan mereka. Dongwoon menyerahkan bungkusan persegi empat itu kepada Gikwang. Gikwang menerimanya dengan pertanyaan, “Apa ini? Buatku?”

 

Dongwoon mengangguk. Yoseob berseru, “Ayo buka! Buka!”

 

“Kami berlima mengumpulkan uang untuk membelikan hadiah itu untukmu.” Jelas Doojoon dengan senyum.

 

Gikwang lalu merobek kertasnya dan mendapati sebuah kotak, dibukanya kotak itu… dan ia melihat sebuah buku. “Buku? Serius kalian berlima mengumpulkan uang buat beli buku?”

 

Yoseob, Dongwoon, dan Doojoon hanya tersenyum ambigu. Memperhatikan Gikwang yang membalik buku tersebut untuk melihat sampulnya.

 

“Lagipula aku bukan tipe orang yang suka baca buk—” mata Gikwang membola setelah sepenuhnya membaca judul sampul halaman buku itu. “Ini… kalian…”

 

“Bagaimana menurutmu?” senyum Yoseob dan Dongwoon belum luntur dari wajahnya.

 

Tangan Gikwang gemetar memegang buku itu, tepatnya, “Buku panduan menggunakan Human Android? Berlisensi? Terbaru? Gila! Kalian jangan bercanda… barang seperti ini harganya tidak main-main!” Gikwang terharu sebenarnya. Apalagi ketiga temannya malah semakin mengembangkan senyum.

 

“Kau butuh seseorang untuk mengurus apartemenmu yang mengenaskan ini, setidaknya,” terang Yoseob. “Menyewa pembantu akan kurang memuaskan… jadi…”

 

“Tapi Human Android? Serius?”

 

“Tapi kau senang kan, Hyung?”

 

Kikwang-2

 

“Bodoh, siapa yang tidak senang mendapat hadiah seperti ini!” Gikwang menjitak kepala Dongwoon, ia tersenyum lebar. “Terimakasih ya, teman-teman…”

 

“Tidak masalah, Kawan. Apapun untuk kebaikanmu,” timpal Doojoon. “Hei, Hyunseung, Junhyung, bawakan hadiah utamanya! Buku panduan hanya sebagai pembuka!” begitu Doojoon menyuruh, Hyunseung dan Junhyung muncul dari arah dapur bersama sesosok gadis cantik—Human Android yang dimaksud. Rambut panjang kecoklatan, kaki jenjang, pipi cabi, dan bola mata rubi yang memandang lurus ke wajah Gikwang.

 

“Selamat ulangtahun, Lee Gikwang.”

 

Gikwang terbelalak. “K-kau kan…?!”

 

*

 

Lay memutuskan sambungan teleponnya dengan Tao. Suara Tao serak dan menyebut-nyebut nama Luhan diiringi isak tangis. Dengan wajah pucat, Lay segera berlari keluar markas untuk mencari Kris atau siapapun yang berada di markas saat ini. Ia merutuk dalam hati ketika mencoba menghubungi nomor Kris yang ternyata tidak aktif. Sementara ponsel Chen dan Xiumin ada di markas, mereka tidak membawanya ketika keluar tadi. “Sial! Dimana mereka semua?” runtuknya kesal. Ini darurat, sebab sesuatu yang penting terjadi pada Luhan.

 

“Xiumin-gege!”

 

Lay terengah-engah ketika ia sampai di hadapan Xiumin yang baru saja keluar dari gudang persenjataan.

 

“Lay, ada apa?”

 

“Sesuatu terjadi padanya.”

 

Xiumin tersentak, ia mengerti siapa itu ‘nya’ yang diucapkan Lay. Lantas lelaki itu langsung membawa Lay ke dalam, mengambil jaket dan kunci motor, lantas berjalan menuju garasi.

 

“Tao masih di sana?”

 

“Dan menangis keras.”

 

“Kau sudah hubungi Kris dan Jongdae?”

 

“Mereka tidak bisa dihubungi.”

 

“Dasar, mereka berdua…” Xiumin menggas motornya. Lay bersiap dengan aksi kebut-kebutan Xiumin nanti. Dan benar saja, tak lama kemudian deruman motor memecah jalanan menuju Gangnam, tepatnya menuju kediaman Luhan. Lay melafalkan do’a dalam hati, karena bukan waktu yang tepat bagi Luhan untuk mengalami ini.

 

Kumohon, kumohon bertahanlah Ge

 

*

 

Bola mata Lay dan Xiumin hampir keluar ketika melihat tubuh Luhan terbaring kaku dengan pergelangan tangan yang tergores. Darahnya menguarkan bau amis, berceceran menodai seprai polos ranjang Luhan. Mata Tao membengkak karena kebanyakan menangis. Tadi Kris sudah menghubungi Dokter Heo namun wanita itu bilang ia terjebak macet. Jadi Chen segera pergi untuk menjemputnya.

 

Kris menarik dan menahan pundak Tao agar tidak meronta dan meraung mencoba menjangkau tubuh Luhan. “Dia akan baik-baik saja, Tao. Percaya padaku.” Bisik Kris di telinga Tao.

 

Tangis Tao belum berhenti. “Tapi—”

 

“Dimana dia?” itu dia, suara sang Dokter Muda menyela ucapan Tao.

 

Uisanim, tolong Luhan-gege, kumohon…” Tao bersimpuh lemas dibawah kaki Gayoon-uisanim begitu ia memasuki kamar Luhan. Chen datang terengah-engah di belakangnya.

 

Tergesa, Gayoon menghampiri tubuh Luhan yang tak bergerak. Melakukan hal medis yang tak dimengerti siapapun di antara mereka kecuali Lay yang pernah kuliah kedokteran. Hanya saja Lay putus kuliah di tengah jalan karena suatu faktor yang tak pernah diberitahukan kepada siapapun.

 

“Selain Yixing, semua keluar ruangan ini.” Titah Gayoon-uisanim, semua langsung menurut.

 

Detik terlewat, menit berlalu, jam tak terasa. Tatkala Gayoon-uisanim dan Lay keluar ruangan, mereka berdua mendapati berbagai macam ekspresi, terutama harap-harap cemas. Lay menundukkan kepalanya, memalingkan muka dari mata teman-temannya. Semua menunggu Gayoon-uisanim buka mulut. Mereka merasakan firasat buruk.

 

“Tuan Xi baik-baik saja,” wanita itu belum menyelesaikan kalimatnya, jadi semua tak ada yang bicara. “Bersyukurlah karena sayatan itu tak terlalu dalam sampai benar-benar memutus urat nadinya. Tetapi ia kehilangan banyak darah. Jadi kurasa ia harus mulai dirawat intensif di Rumah Sakit,” paparnya lagi.

 

“Lakukan apapun, selama demi kebaikannya.” Putus Kris mewakili teman-temannya.

 

“Itu juga salah satu kewajiban saya sebagai Dokter, apalagi Dokter pribadi Tuan Xi Luhan, jelas saya akan melakukan semua yang saya bisa demi kesembuhan pasien,” Heo Gayoon menarik napas dan menghembuskannya dengan berat. “Seperti yang saya bilang tadi, Tuan Xi Luhan harus mulai dirawat di Rumah Sakit… Jiwa.”

 

Tao ambruk. “Tidak, Uisanim… tidak.”

 

“Ia mencoba membunuh dirinya sendiri. Dan bukan pertama kali ia melakukan ini,” tepatnya ini percobaan ketiganya. “Jika tidak segera ditangani, kondisi psikisnya bisa lebih parah dari ini.” Ucap sang Dokter tegas. Tak ada yang mengelak kecuali Tao, kalau memang kejiwaan Luhan terlihat ‘terganggu’ di mata mereka.

 

“Lay-ge katakan sesuatu,” Tao menarik lengan baju Lay. Lay masih memalingkan mukanya. Tao tersenyum getir, ia lantas melirik Xiumin dan Kris—dua orang yang paling bisa diandalkan di situasi seperti ini. “Xiumin-ge, Kris-ge…” sayangnya keduanya juga menulikan telinga. “Kumohon… Jongdae-hyung katakan pada Gayoon-uisanim kalau Luhan-ge masih waras… tolong.”

 

Chen menggeleng lemah.

 

“Tidak,” pundak Tao gemetar. “TIDAK! Ia tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini… dan kalian mau memasukkannya ke tempat yang tak seharusnya? Bersama siapa ia di sana nanti? Bersama siapa aku tanya? Orang-orang gila? Dokter-dokter yang menyuntikkan obat penenang? Luhan-ge manusia bukan binatang buas harusnya kalian tahu! Kalian lelah mengurusinya? Kalian lelah menyuapi dan menungguinya hingga tidur? Baiklah! Baik! Luhan-ge tidak butuh orang seperti kalian! Memang yang mengerti dia hanya AKU!” Tao meraung, ia kalap. Matanya memerah memandang satu-satu wajah familiar mereka.

 

Nun, tak ada yang buka mulut untuk membela diri. Faktanya, perkataan Tao tidak salah.

 

Sampai sebuah suara bass memecah bisu. “Taozi…”

 

“Lepaskan tanganku, Kris!” Tao bahkan menghilangkan embel-embel –ge di belakang nama Kris.

 

“Ini demi kesembuhan Luhan.”

 

“Tapi Luhan-ge tidak SAKIT!” ucap Tao dengan penekanan di kata ‘sakit’.

 

“Heo Gayoon-ssi adalah Dokter. Ia lebih tahu,” Kris menatap Tao lekat. “Dan aku yakin sepotong kecil hatimu juga mengakuinya kan? Kalau Luhan memang…”

 

Dan sebelum Kris menyelesaikan kalimatnya, Tao menangis.

 

Sementara di waktu yang sama di tempat yang berbeda, pemilik nama Lee Gikwang masih mengatur nafas dan detak jantungnya melihat sosok Human Android berjenis kelamin perempuan hadiah dari teman-temannya, yang akan tinggal seatap dengannya mulai sekarang. “K-kau kan… Nona Sooyoung?!”

 

03-12

 

*

A/N (lagi): kubu Luhan lagi dirundung kegalauan, kubu Gikwang lagi senang-senang. Lalu bagaimana dengan Sooyoung? Yeah semua ada di tangan saya HA-HA-HA *ditendang*

Next episode ada flashback antara Luhan dan Sooyoung, lalu apa yang terjadi pada Sooyoung sampai membuat Luhan coretdepresicoret agak terganggu. Kalau mau baca, berikan feedback yah readers tercinta *tebar cinta*

65 thoughts on “Comeback Home – Episode 01”

  1. ini mana? mana kelanjutannya, knp cuma part 1 doang? lanjutin thooor
    Human Android itu bkn Sooyoung kan? lalu sooyoung asli kmna? What the hell! gw penasaran!

    1. Sabar ya ntar juga bakal dilsnjutin kok… penulis kan ga bisa dipaksa buat nulis. Mereka bakal nulis kalau mau nulis, kalau lagi ga bisa ya gimana….
      Harap maklum yah ╮(╯_╰)╭

  2. Huhh,, yaampun aq suk bget amani ff,, sumpah..!!
    Next part udah dipostkah?? Pnsaran dgan klanjutan’y,, ksian ama si luhan,,😢

  3. Ini belom ada lanjutannya yaa?
    konsep ceritanya bagus banget.
    pokoknya suka deh fany dama semua cerita kamu…
    segera dilanjut yaaa
    fightiing

Leave a comment